Oleh : Irwandi Aziz
DUMAI, 21 mei 2025 – Tanggal 21 Mei 1998 menjadi titik balik sejarah politik Indonesia ketika Presiden Soeharto secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun memimpin Orde Baru. Demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh krisis moneter 1997-1998, ketimpangan ekonomi, dan represi politik memuncak pada peristiwa Mei 1998 yang berdarah, menandai runtuhnya rezim otoriter dan dibukanya jalan bagi era Reformasi.
Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki masa baru dengan harapan akan demokratisasi, supremasi hukum, keadilan sosial, dan pemerintahan yang lebih terbuka. Namun, setelah 27 tahun Reformasi, pertanyaan besar masih menggantung: Apakah cita-cita reformasi telah terwujud? Ataukah justru dikhianati oleh praktik-praktik politik kekuasaan baru yang tak kalah dominan dari era sebelumnya?
*Reformasi: Dari Gus Dur hingga Era Jokowi*
Era Transisi: Habibie dan Gus Dur
Presiden B.J. Habibie mengambil alih kepemimpinan dari Soeharto dengan beban berat sebagai transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Pemilu 1999 digelar dengan sistem multipartai, menandai dimulainya era kebebasan politik. Gus Dur, pemimpin karismatik Nahdlatul Ulama, terpilih melalui Sidang MPR. Namun pemerintahannya berumur pendek akibat konflik elite politik dan tuduhan instabilitas, yang berujung pada pemakzulan oleh DPR/MPR tahun 2001.
Konsolidasi Demokrasi: Megawati, SBY, dan Pemilu Langsung
Presiden Megawati Soekarnoputri melanjutkan pemerintahan pasca-Gus Dur, disusul oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden pertama yang terpilih melalui pemilu langsung pada 2004. Di bawah SBY, demokrasi tampak lebih stabil, institusi-institusi baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat momentum, dan kebebasan pers relatif terjaga. Namun di balik itu, praktik politik transaksional dan oligarki mulai menemukan bentuk barunya.
Jokowi dan Era Politik Populis
Terpilihnya Joko Widodo pada 2014 membawa harapan baru sebagai figur sipil yang muncul dari luar lingkaran elite militer dan partai besar. Namun dalam dua periode pemerintahannya, Jokowi justru menghadapi kritik karena:
– Melanggengkan politik kompromi dengan oligarki dan elite lama.
– Melemahkan institusi pemberantasan korupsi melalui revisi UU KPK.
– Menyuburkan politik dinasti (contoh: putra dan menantu jadi kepala daerah).
– Mendorong revisi UU Pemilu, UU Minerba, dan Omnibus Law secara kilat tanpa partisipasi publik yang kuat.
*Keadaan Demokrasi: Antara Retorika dan Kenyataan*
Demokrasi Elektoral yang Semu?
Secara formal, Indonesia masih mempertahankan sistem demokrasi elektoral multipartai. Namun dalam praktiknya, banyak pakar menyebut Indonesia berada pada fase “demokrasi illiberal” atau bahkan “demokrasi prosedural” tanpa kedalaman substansi. Gejala-gejala penurunan kualitas demokrasi antara lain:
– Politik uang dan kampanye berbasis patronase.
– Dominasi oligarki dalam pendanaan partai dan pengaruh kebijakan.
– Kooptasi media oleh konglomerasi yang berafiliasi politik.
– Pembatasan kebebasan sipil, termasuk kriminalisasi aktivis dan pembubaran paksa aksi-aksi protes.
*Indeks Demokrasi yang Menurun*
Freedom House (2024) menilai Indonesia sebagai negara “partly free” dengan penurunan skor dalam kebebasan berpendapat dan pluralisme. Demikian pula, The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia dalam kategori “flawed democracy”. Faktor penyebab utama:
– Campur tangan kekuasaan dalam sistem hukum.
– Ketidaknetralan aparat negara dalam pemilu.
– Penggunaan buzzer untuk menyerang lawan politik atau kritik publik.
*Oligarki Baru: Reformasi Dibajak?*
Oligarki di Indonesia pasca-reformasi tidak hanya berasal dari kalangan militer atau birokrat seperti era Orde Baru, tetapi kini berkembang dalam bentuk konglomerat, pemilik media, dan penguasa sumber daya alam yang membiayai partai dan kampanye politik. Menurut Jeffrey Winters (2011), Indonesia telah menjadi contoh “oligarki elektoral”, di mana elite ekonomi dan politik membentuk simbiosis untuk mempertahankan status quo kekuasaan.
*Dinasti Politik dan Nepotisme*
Fenomena dinasti politik semakin menjamur di berbagai daerah, termasuk pada level nasional. Kasus keterlibatan keluarga Presiden Jokowi dalam kontestasi politik—baik sebagai wali kota maupun calon wapres 2024—menjadi simbol ironi dari cita-cita reformasi yang dulu menentang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
*Lemahnya Partai Politik*
Partai politik gagal menjadi wadah artikulasi ideologi dan aspirasi rakyat. Mereka cenderung menjadi kendaraan pragmatis untuk akses kekuasaan. Kurangnya kaderisasi, ketergantungan pada tokoh tertentu, serta praktik mahar politik membuat partai-partai tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam demokrasi yang sehat.
Gerakan Sipil dan Perlawanan dan Kebangkitan Generasi Muda
Meski ruang sipil menyempit, berbagai gerakan masyarakat sipil terus muncul, terutama dari kalangan mahasiswa, buruh, dan aktivis digital. Demo besar menolak Omnibus Law tahun 2020 dan kritik terhadap revisi UU KPK menunjukkan bahwa roh Reformasi masih hidup di kalangan akar rumput.
Namun, gerakan ini sering terfragmentasi dan kurang mendapat dukungan kelembagaan. Ditambah lagi, represi oleh aparat dan stigmatisasi oleh buzzer pro-pemerintah membuat keberlangsungan gerakan sipil semakin berat.
Digitalisasi : Ruang Baru dan Tantangan Baru
Internet dan media sosial menjadi arena baru perlawanan. Akan tetapi, ruang ini juga menjadi medan tempur informasi yang penuh disinformasi, hoaks, dan serangan digital. Kebebasan berpendapat di dunia maya menghadapi ancaman serius dari regulasi yang multitafsir, seperti UU ITE.
Arah Politik Pasca reformasi : Menuju Demokrasi atau Autoritarianisme Baru?
Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi
Pemilu 2024 menjadi momen kritis. Dinamika menjelang pemilu menunjukkan kecenderungan politik identitas kembali dimobilisasi, serta ketimpangan akses media dan logistik antar calon. Isu keberpihakan aparat, rekayasa aturan kampanye, dan ketidakadilan dalam penegakan hukum semakin memperkuat kecurigaan akan praktik “authoritarianism by law”.
Keterlibatan elite lama dalam format baru juga menunjukkan bahwa transisi demokrasi Indonesia belum selesai. Upaya rekonsolidasi kekuasaan oleh kelompok tertentu, termasuk dalam wacana perpanjangan masa jabatan atau pengubahan sistem pemilu, menjadi sinyal kemunduran.
Dilema Demokrasi Indonesia
Indonesia berada dalam dilema antara dua kutub:
1. Demokratisasi substansial, dengan penguatan institusi, desentralisasi yang adil, dan kontrol sipil terhadap militer serta kepolisian.
2. Konsolidasi kekuasaan, di mana aktor-aktor dominan mengarahkan negara pada otoritarianisme dengan legitimasi elektoral semu.
Penutup : Apa yang Harus Dilakukan ?
Setelah 27 tahun Reformasi, Indonesia berada di persimpangan jalan. Cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai, bahkan mulai tereduksi oleh praktik-praktik kekuasaan yang mirip dengan era sebelumnya, namun dalam bentuk yang lebih halus dan terselubung.
Reformasi belum mati, tapi sedang dalam ujian terberatnya.
Masyarakat sipil harus terus mengawasi kekuasaan, menolak lupa terhadap sejarah, dan membangun kembali partisipasi politik yang kritis dan bermakna. Partai politik harus direformasi dari dalam, media harus kembali independen, dan institusi penegak hukum harus netral. Demokrasi Indonesia tidak akan bertahan hanya dengan pemilu lima tahunan, tapi dengan komitmen harian pada nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Reformasi bukan hanya peristiwa sejarah, tapi proses yang terus berlangsung. Pertanyaannya: apakah kita sebagai bangsa masih mau memperjuangkannya, atau pasrah menyaksikannya dikhianati perlahan?