Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari, berjuang mencapai puncak gunung Everest ditengah terpaan badai salju yang suhunya mencapai minus 28 derajat Celcius. instagram.com |
Jakarta – Dua pendaki perempuan asal Indonesia yang telah menuntaskan pendakian ke tujuh puncak tertinggi dunia, Fransiska Dimitri Inkiriwang (24 tahun) dan Mathilda Dwi Lestari (24), berbagi cerita soal peraturan yang diterapkan Taman Nasional setempat saat pendakian di tujuh puncak dunia.
“Ada perbedaan kesan pendakian di Indonesia dan negara-negara seven summit soal manajemen pendakian, terutama bidang human waste (kotoran manusia),” kata Mathilda di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juni.
Mathilda mengatakan kotoran manusia, baik berupa kotoran air kecil dan air besar, harus dibawa turun kembali seperti halnya sampah. Hal itu ia alami saat mendaki di Vinson Massif, Antartika, Januari 2017 lalu.
Saat itu, ia dan Fransiska harus mewadahi air seni ke dalam botol setiap kali buang air kecil. “Sebenarnya ada lubang-lubang khusus yang mereka (pihak taman nasional) buat untuk pipis,” kata Mathilda. Namun, hanya di lokasi tertentu.
Para pendaki pun dilarang kencing sembarangan karena akan mencemari es. Sebab, es itu nantinya akan diminum juga oleh mereka. “Jadi, kalau pipis sembarangan, air yang masuk ke tubuh kita kotor,” ujarnya.
Sedangkan untuk sampah air besar, pihak taman nasional menyediakan plastik khusus untuk limbah pribadi pendaki. Hal yang sama pun mereka jumpai saat mendaki puncak Denali di Amerika Utara, Juli 2017 lalu.
Pendaki gunung melewati Lembah Khumbu di wilayah Everest, Nepal, 9 April 2016. REUTERS/Antoni Slodkowski |
“Kami dikasih baskom untuk duduk. Baskom itu dilapisi plastik. Sampah hajat kami ditaruh di plastik tersebut dan lantas harus dibawa turun,” ujarnya.
Begitu pula halnya dengan sampah plastik atau limbah lain. Pemandu sangat keras menerapkan aturan tak boleh membuang sampah sembarangan bagi para kliennya. Pemandu atau guide akan menganggap pendaki sudah kehilangan fokus jika mereka membuang sampah sembarangan.
“Karena kalau buang sampah sembarangan, pendaki dianggap sudah kehilangan fokus dan guideakan meminta mereka tak melanjutkan perjalanan sampai puncak,” ujar Fransiska.
Denda yang tak main-main akan dikenakan kepada para pendaki bila mereka tak membawa kembali sampahnya. Sebab, setelah turun, mereka akan diminta untuk menyerahkan limbah yang telah dibawa.
“Termasuk limbah manusia. Enggak mungkin kan kita seminggu jalan tapi enggak buang air,” ujar Mathilda.
Mathilda dan Fransiska berharap aturan ini diadaptasi oleh pihak taman nasional di Indonesia. Keduanya membayangkan gunung-gunung di Indonesia dapat sebersih gunung di luar negeri apabila peraturan yang sama telah diterapkan.
(sumber tempo.co)