Sorotlensa.com, DUMAI – Langkah pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza, termasuk anak-anak yatim dan korban luka, menuai pujian sekaligus pertanyaan. Di tengah gempuran bom dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza, sikap tegas Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai sebagai wujud nyata solidaritas Indonesia terhadap Palestina. Namun, di saat yang sama, publik dalam negeri juga mengangkat alis: benarkah ini saat yang tepat?
Di Balik Niat Mulia, Ada Risiko Strategis
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia telah lama menjadi sahabat Palestina. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina bukan hanya soal diplomasi, melainkan juga bagian dari amanat konstitusi: ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Namun, sebagaimana dikritisi oleh pengamat hubungan internasional Dr. Dina Y. Sulaeman, langkah evakuasi warga Gaza oleh Indonesia berpotensi menimbulkan dilema strategis. Ia menyebut, evakuasi besar-besaran sekalipun dilakukan dengan niat kemanusiaan dapat dimanfaatkan oleh kekuatan besar untuk melegitimasi agenda “pembersihan etnis” secara terselubung di Gaza.
Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa “tidak akan ada Hamas dan tidak ada warga sipil” di Gaza bagian utara adalah sinyal terang dari agenda tersebut. Jika pengosongan Gaza terjadi secara masif, siapa yang akan mengklaim tanah itu kemudian?
Indonesia menegaskan bahwa evakuasi ini bersifat sementara dan tidak bertujuan untuk relokasi permanen. Namun, tetap saja, risiko geopolitik itu nyata. Apakah Indonesia siap menanggung segala konsekuensinya?
Realita Dalam Negeri: Ribuan PHK, Ekonomi Lesu
Yang membuat wacana ini semakin kompleks adalah kondisi sosial-ekonomi dalam negeri yang sedang suram. Di berbagai sektor, gelombang PHK tengah terjadi secara masif. Industri tekstil, manufaktur, hingga perusahaan digital seperti Gojek dan Tokopedia melakukan efisiensi besar-besaran. Ribuan orang kehilangan pekerjaan hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir.
Di sisi lain, harga bahan pokok melonjak, daya beli masyarakat menurun, dan angka pengangguran masih stagnan menurut data Badan Pusat Statistik. Banyak keluarga yang kini kesulitan membayar biaya sekolah, listrik, bahkan makan sehari-hari.
Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan wajar dari masyarakat: mengapa pemerintah fokus menolong warga negara lain, sementara jutaan rakyat sendiri justru sedang terseok-seok menghadapi krisis?
Ini bukan soal tidak punya empati terhadap Palestina, tetapi soal prioritas dan keberpihakan negara terhadap rakyatnya sendiri. Jika tidak dikelola secara cermat dan komunikatif, langkah evakuasi ini bisa menjadi bumerang politik—bahkan memunculkan friksi sosial.
Diplomasi Kemanusiaan Butuh Keseimbangan Sosial
Pemerintah harus mampu menyeimbangkan dua misi besar ini: menjadi pemain aktif dalam isu kemanusiaan global, namun tetap memegang teguh keadilan sosial bagi rakyat di rumah sendiri. Jangan sampai tangan kanan menolong dunia, tetapi tangan kiri membiarkan rakyat sendiri tenggelam dalam ketidakpastian ekonomi.
Program evakuasi warga Gaza harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi. Pemerintah perlu menjelaskan dengan detail skema pembiayaan, durasi penampungan, status hukum pengungsi, dan mekanisme pemulangan ke tanah Palestina.
Lebih dari itu, perhatian terhadap kondisi rakyat sendiri tidak boleh berkurang. Pemerintah harus menunjukkan langkah konkret mengatasi gelombang PHK, mendukung UMKM, menjaga stabilitas harga, serta memperkuat jaring pengaman sosial.
Kemanusiaan Dimulai dari Rumah
Indonesia adalah bangsa besar. Tapi kebesaran itu tidak hanya diukur dari perannya di panggung internasional. Kebesaran sejati adalah ketika bangsa ini mampu melindungi rakyatnya, sekaligus peduli pada dunia.
Saatnya pemerintah membuktikan: bahwa misi kemanusiaan untuk Gaza tidak akan melukai hati rakyat yang sedang terluka di rumahnya sendiri.
Sumber : Irwandi Aziz
Editor : Redaksi



