Wamenaker Tersandung Sertifikasi K3, Perusahaan di Dumai Masih Anggap Nyawa Karyawan Murah?

Ilustrasi

DUMAI – Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kembali membuka mata publik tentang carut-marutnya perlindungan pekerja di Indonesia.

Kasus ini menyoroti dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan. Padahal, sertifikasi tersebut merupakan instrumen vital untuk menjamin keselamatan tenaga kerja, terutama di daerah industri seperti Kota Dumai yang dikenal dengan kilang minyak, pelabuhan, hingga pabrik pengolahan sawit.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tingginya angka kecelakaan kerja di Dumai menjadi bukti nyata bahwa keselamatan pekerja masih sering diabaikan. Banyak perusahaan terkesan enggan berinvestasi dalam penerapan standar K3 dan memilih memangkas biaya operasional, meski berisiko terhadap nyawa karyawan.

“Kalau sertifikasi K3 benar-benar dijadikan ladang pungli atau permainan mafia, jangan heran bila banyak perusahaan akhirnya malas mengurusnya. Ujung-ujungnya pekerja yang jadi korban, kecelakaan kerja pun terus berulang,” ujar Irwandi Aziz, salah seorang pengamat ketenagakerjaan di Riau, Sabtu (23/8).

Data menunjukkan, kecelakaan kerja di Dumai terus terjadi di sektor migas, transportasi, hingga manufaktur. Jika proses sertifikasi K3 dipersulit atau bahkan diperdagangkan, sulit membayangkan pekerja bisa mendapatkan perlindungan optimal.

Kasus Noel menjadi tamparan keras bagi pemerintah sekaligus perusahaan. Di satu sisi, dugaan pemerasan mencoreng integritas lembaga negara. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar di Dumai juga patut dikritisi karena kerap memandang keselamatan hanya sebatas formalitas dokumen.

Penangkapan Wamenaker seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi total sistem sertifikasi K3 agar lebih transparan, mudah diakses, dan benar-benar berpihak pada pekerja. Lebih jauh, perusahaan wajib berhenti memandang nyawa buruh sebagai angka statistik yang bisa dikorbankan demi target produksi.

pertanyaannya Kini, berapa banyak lagi nyawa pekerja Dumai yang harus melayang sebelum keselamatan dipandang sebagai hak dasar dan martabat manusia, bukan sekadar kewajiban administratif?

Penulis : Faisal Arif