SOROTLENSA, DUMAI – Pasca tidak dilaksanakannya pemungutan suara ulang (PSU) dan pemungutan suara lanjutan (PSL) untuk Dapil I Kota Dumai, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (YLBHN) menduga KPU Dumai sengaja menghilangkan hak Warga Dumai untuk memilih di Pemilu 2019.
“Banyak hak-hak warga dumai yang berada di TPS bermasalah yang sudah dirampas dikarenakan harapan untuk memilih hilang akibat dari tidak dilaksanakannya PSU dan PSL oleh KPU setempat,” kata Ketua DPP YLBHN, Ir Muhammad Hasbi, Sabtu.
Padahal, kata Hasbi, hak setiap warga negara Indonesia dijamin oleh konstitusi untuk dapat menyalurkan pilihannya di Pemilu 2019 agar setiap warga negara Indonesia ikut merasakan pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini.
“Saya nilai KPU Dumai membangkang terhadap rekomendasi Bawaslu sebagai pengawas Pemilu. Seharusnya rekomendasi Bawaslu untuk melaksanakan PSU di 2 TPS dan PSL di 9 TPS terlaksana sesuai harapan warga yang tidak dapat menyalurkan hak pilihnya beberapa waktu lalu,” ketusnya.
Lanjut Hasbi, akibat dari keputusan KPU yang dianggap sepihak itu, ada lima hak warga yang hilang, warga yang berada di TPS tersebut tidak dapat memilih calon anggota DPRD Kota, Propinsi, RI dan calon anggota DPD serta calon Presiden RI.
Dengan demikian, Hasbi menilai telah terjadi dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh KPU Dumai berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sehingga dapat dipidana.
Menurut Hasbi, dalam Undang-undang ini, diduga keputusan KPU Dumai dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana pemilu yang diatur pada Pasal 510, Pasal 532, dan Pasal 549.
Disebutkan Hasbi, dalam Pasal 510 berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah”.
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta Pemilu mendapat tambahan suara atau perolehan suara pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 48 juta rupiah,” ujar Hasbi mengutip Pasal 532.
Selanjutnya, Pasal 549 Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan PSU di TPS sebagaimana dimaksud dalam pasal 373 ayat (3) sementara persyaratan dalam Undang-undang ini telah terpenuhi, anggota KPU kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.
Sebagai tambahan, Hasbi juga mengutip Pasal 554 yang berbunyi, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 488, 491, 492, 500, 504, 509, 510, 511, 518, 520, 523, 525 ayat (1), 526 ayat (1), 531, 532, 533, 534, 535, dan Pasal 536, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Menurut Komisioner Bawaslu Dumai, Agustri, keputusan yang diambil lembaganya untuk selanjutnya merekomendasikan kepada KPU agar melaksanakan PSU di 4 TPS dan PSL di 9 TPS sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Sesuai dengan Undang-undang tersebut, syarat formil dan materil sudah terpenuhi. Hingga kita merekomendasikan PSU dan PSL ke KPU dan dasar kita merekomendasikan PSU sendiri karena PSU diatur dalam pasal 372 ayat 2 huruf (d) sedangkan PSL sendiri ada warga yang kehilangan hak suaranya,” jelasnya.
Senada dengan Hasbi, Agustri menuturkan penyelenggara pemilu dalam hal ini dapat dipidana apabila sengaja menyebabkan menghilangkan hak pilih orang lain. Penyelenggara Pemilu yang dimaksud Agustri adalah DKPP, Bawaslu dan KPU.
Sebagai contoh, lanjut dia, seperti pemilih yang sudah terdaftar, yang sudah mendaftarkan diri di TPS sebelum jam 1 tetapi suaranya itu tidak bisa digunakan daripada pihak penyelenggara bisa dikenakan Pasal 510 dalam Undang-undang ini.
“Pasal ini bisa dikenakan kepada Penyelenggara Pemilu apabila ada laporan dari warga yang merasa hak suaranya tidak digunakan,” ulasnya.*** (TIM)