Aksi salah satu demo buruh di Kota Dumai menyuarakan hak mereka. (Foto Tribun Pekanbaru) |
AKSI unjuk rasa atau demonstrasi selalu menjadi warna dalam setiap pemberitaan di sejumlah media baik itu daring (online) hingga menjadi headline news surat kabar dengan memampangkan gambar sang orator menyuarakan sikap protesnya sembari memegang pengeras suara di bibirnya yang di sekitarnya dikelilingi banyak orang.
Biasanya para pendemo tergabung dalam sebuah organisasi atau serikat. Namun untuk memuluskan aksinya, biasanya mereka membawa massa lebih banyak lagi demi memberikan sedikit shock teraphy kepada tujuan mereka.
Aksi demo selama puluhan tahun di negeri ini banyak didominasi oleh buruh (pekerja) kepada perusahaan yang dianggap belum merealisasikan hak-hak mereka sebagaimana mestinya.
Tak terkecuali di Dumai, kota paling timur di Pulau Sumatera ini. Mereka beranggapan mungkin dengan berdemo bisa merubah keadaan.
Sementara tuntutan yang paling krusial sepanjang terjadinya demo di Dumai adalah perusahaan yang tidak memprioritaskan putra daerah untuk menjadi karyawannya.
Mengacu pada Perda nomor 10 tahun 2004 tentang ketenagakerjaan, sudah jelas diatur perusahaan harus menerima 70 persen tenaga kerja berbanding 30 persen dari luar Dumai.
Namun sebaliknya, perusahaan dinilai tak transparan dalam penerimaan naker lokal. Diduga kuat perusahaan merekrut naker secara terselubung.
Banyak pencari kerja mengaku telah menjatuhkan lamarannya ke perusahaan, konon pencari kerja mengirim lamaran melalui kantor PT Pos Indonesia (Persero).
“Padahal perusahaan sendiri belum menempelkan lowongan kerja di papan pengumuman kantor Disnakertrans Dumai,”ungkap Irwan yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan Kerja di Disnakertrans Kota Dumai.
Di sisi lain para pengusaha merasa kewajiban mereka sudah dilaksanakan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Pengusaha pun berdalih, mulai dari perekrutan tenaga kerja lokal lebih dominan dibandingkan tenaga dari luar.
Kemudian perusahaan juga sudah melaporkan pekerjanya ke Disnakertrans dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk melindungi karyawannya.
Lalu membayarkan gaji sesuai dengan upah minimum kota (UMK) yang telah ditetapkan, termasuk dalih lainnya.
Sehingga dua kubu saling mengklaim jika tindakan yang mereka lakukan sama-sama benar.
Sesuai Peraturan Pemerintah RI nomor 8 tahun 2005 tentang tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit.
Dijelaskan bahwa LKS Tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah.
Akhirnya pemerintah jualah yang diuji
‘Setali tiga uang’, sebenarnya keinginan pendemo sudah pernah digaungkan oleh kepemimpinan Zulkifli Adnan Singkah dan Eko Suhardjo pada visi misinya saat pilkada 2015 silam.
Meskipun masyarakat menilai program itu terlalu berlebihan, namun Pemko Dumai menyangkal justru program yang didengungkan tersebut sudah berjalan.
Melalui Disnakertrans, Pemko sendiri sudah mengeluarkan Perwako Dumai nomor 37 tahun 2017 untuk mengoptimalkan penempatan tenaga kerja dengan tingkat kenaikan serta penurunan penempatan tenaga kerja .
“Agar putra daerah bisa mendapatkan porsinya 100 persen, kecuali untuk tenaga ahli yang memang harus didatangkan dari luar daerah,”ungkapnya beberapa waktu lalu.
Apalagi belum lama ini, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Dumai, sudah disahkan. Tentunya ini memberikan kesempatan agar para investor bisa berinvestasi di Dumai sehingga lapangan kerja pun terbuka lebar.
Ia mencontohkan pada pembangunan pusat perbelanjaan megah dan luas yang diresmikan akhir 2019 lalu. Dikatakannya sekitar 90 persen lebih, perusahaan memang merekrut asli pemuda-pemudi Kota Dumai.
Tak itu saja, pemerintah juga membuka balai latihan kerja (BLK), tujuannya menciptakan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai yang nantinya akan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. “Dan upaya ini demi mengimbangi permintaan tenaga kerja,”timpalnya.
Namun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, para pencaker di Kota Dumai hingga tahun 2018, ditotalkan 2.500 orang yang didominasi kaum pria dari usia 17 sampai 55 tahun.
Sementara jumlah pengangguran di Dumai mencapai 12 ribu orang atau berkisar hanya 20 persen yang mendapatkan pekerjaan. Jumlah tersebut diambil dari total seluruh warga Kota Dumai berusia produktif.
Upaya pemerintah pun masih dianggap isapan jempol belaka bagi masyarakat. Nyatanya masih banyak perusahaan yang sengaja cuek dengan aturan tersebut.
Irwan sang Kabid yang mewakili Kadisnakertrans Kota Dumai, Suwandy pernah mengaku jika pihaknya sudah melakukan pendataan ulang kepada pekerja di sejumlah perusahaan, apakah sudah sesuai dengan Perda atau tidak.
Karena menurutnya bisa saja terindikasi perusahaan lebih banyak mempekerjakan pekerja luar daerah.
“Kita sudah melakukan upaya tersebut, bahkan dengan melayangkan surat resmi namun selalu ada penolakan,”ulasnya sembari mengungkapkan jika perusahaan hanya memberikan data jumlah pekerjanya saja.
Siapakah yang salah?
Sementara itu, salah seorang pengamat ketenagakerjaan, Agus Susanto mengatakan konflik ini merupakan persoalan lama yang terus berlanjut tanpa ada ketegasan dari pemangku kebijakan.
Sedangkan tindakan pendemo sudahlah benar asal dilakukan di jalan yang benar pula.
Agus menilai jumlah pencari kerja yang ada di Dumai dirasakan memadai untuk memenuhi kebutuhan semua perusahaan yang berdiri di kota ini.
Hanya saja para pencaker belum diberikan kesempatan untuk mencukupi keinginan perusahaan.
Banyak perusahaan lebih memilih orang luar. Beragam alasanpun dilontarkan mereka.
Mulai dari segi keterampilan yang dianggap lebih mumpuni, ada juga orang luar dianggap lebih siap pakai bahkan bersedia ditempatkan di mana saja tanpa ada tuntutan yang macam-macam.
“Malah ada yang mengaku, jika anak daerah (lokal) menginginkan kerja yang enak, tak perlu kerja berat namun dengan upah yang tinggi. Sehingga tertanam krisis kepercayaan itu di hati mereka,”papar Agus sang advokat muda ini menjelaskan.
“Hal ini harusnya kita tepis.. sebagai putra daerah kita wajib bersihkan citra buruk nama kita. Dan itulah yang harus kita buktikan terutama bagi yang sudah diterima bekerja,”tutur dia lagi.
Untuk itu diperlukan ketegasan sikap dari pemangku kebijakan tersebut, agar sikap dingin dan apatis perusahaan tidak terus berlanjut.
“Jadi sudah saatnya semua pihak terkait membahas permasalahan ini di lembaga tersebut, sehingga penyelesaian semakin cepat didapat,”tukasnya.
Penulis : Khallila Dafri